PERINGATAN HARI SANTRI NASIONAL DAN UNDANG UNDANG CIPTA KERJA KLASTER PENDIDIKAN
Oleh
:
Makut
Candranegara, M.Pd.
Presiden Joko Widodo
telah resmi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang
penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, namun bukan sebagai
hari libur nasional. Keppres tersebut ditandatangani Jokowi pada hari Kamis
tanggal 15 bulan Oktober 2015.
Kepres Hari Santri
Nasional ini merupakan wujud dari janji Presiden Jokowi saat kampanye Pemilu
Presiden tahun 2014, Jokowi menyampaikan
janjinya untuk menetapkan satu hari sebagai Hari Santri Nasional. Namun, ketika
itu, Jokowi mengusulkan tanggal 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional.
Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU), punya pendapat berbeda tentang tanggal yang tepat
dijadikan Hari Santri Nasional bukanlah 1 Muharam, melainkan pada tanggal 22
Oktober. Pada tanggal tersebut, merupakan awal perjuangan santri dalam merebut
kemerdekaan memiliki landasan yang kuat.
Sebagaimana yang pernah
disampaikan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj, tanggal 22 Oktober 1945
merupakan tanggal ketika Hadratussyeh KH. Hasyim Asy'ari mengumumkan fatwanya
yang disebut sebagai Resolusi Jihad. Resolusi Jihad yang lahir melalui proses
musyawarah mufakat ratusan kiai dari berbagai daerah guna merespons agresi
Belanda kedua. Resolusi itu memuat seruan bahwa setiap Muslim wajib memerangi
penjajah. Para pejuang yang gugur dalam peperangan melawan penjajah pun
dianggap mati syahid.
Di Surabaya kedatangan
pasukan sekutu yang tak lain pasukan Inggris, mendapatkan reaksi keras dari masyarakat
setempat. Rakyat dengan seluruh lapisan golongan menyatakan siap melakukan
pertempuran bersenjata untuk mempertahankan keutuhan kedaulatan negara.
Pembelaan negara adalah hak dan kewajiban setiap warga negara.
Dengan kekuatan seluruh
rakyat Surabaya termasuk para ulama dan santri yang ada di seluruh Pondok
Pesantren, akhirnya bersatu padu membentuk sekumpulan masa guna melawan pihak tentara
sekutu dan NICA.
Nahdlatul Ulama sebagai
organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, juga langsung tanggap terhadap
kondisi kedaulatan negara yang sudah sangat terancam tersebut. Kantor Pusat
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang pada saat itu berada di Jalan
Bubutan IV Surabaya menjadi yang sangat rentan terhadap ancaman akibat
kedatangan pasukan sekutu di Surabaya. Hal ini diperparah dengan perilaku
pasukan sekutu yang menyinggung perasaan umat Islam pada waktu itu, hingga pada
akhirnya, Rois Akbar Hadrotus Syeh K.H. Hasyim Asy’ary membacakan sendiri hasil
keputusan dan tanggapan dari ratusan para kiai yang tergabung dalam organisasi
Nahdlatul Ulama terhadap kondisi bangsa dan negara, yaitu Resolusi Jihad.
Resolusi yang dibacakan
pada tanggal 22 Oktober 1945 ini berisi pernyataan bahwa perjuangan
mempertahankan kemerdekaan hukumnya adalah wajib ‘Ain bagi umat Islam, dan
perang mempertahankan kemerdekaan adalah perang suci (jihad fisabilillah).
Kabar munculnya
Resolusi Jihad menjadikan masyarakat Surabaya terbakar semangat untuk ikut
berjuang melawan penjajah. Akhirnya dalam tempo yang singkat seruan jihad untuk
melawan penjajah meluas hingga keluar Surabaya dan akhirnya sampai kepada para
ulama dan santri. Mereka yang mengetahui kabar tersebut langsung tergerak hatinya
ikut berjuang melawan pasukan sekutu yang masuk ke Indonesia.
Para ulama dan santri kemudian
berjuang dengan sangat gigih dan tanpa rasa takut untuk menghadapi pasukan tentara
sekutu yang pada waktu itu datang dengan perlengkapan dan senjata yang sudah
modern. Namun mereka ini tidak memiliki rasa takut ataupun gentar sedikitpun
walau taruhannya adalah nyawa mereka, hal ini demi mempertahankan kemerdekaan
NKRI agar tidak jatuh lagi ketangan para penjajah.
Tujuan dari resolusi
jihad tersebut antara lain untuk menggerakkan para santri, pemuda, dan
masyarakat agar bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial yang
puncaknya adalah terjadi pada tanggal 10 November 1945.
Saat itu, KH Hasjim
Asy’ari menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa “Membela tanah air dari penjajah
hukumnya fardlu ‘ain atau wajib bagi setiap orang.” Seruan ini mampu membakar
semangat para santri di Surabaya untuk menyerang Markas Bridge 49 Mahratta
pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.
Pada pertempuran
tersebut, Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari
berturut-turut. Pertempuran itu terjadi pada tanggal 27, 28, dan 29 Oktober
1945. Jenderal tersebut tewas bersama pasukannya sebanyak +/- 2.000 pasukan.
Peristiwa tersebut menyulut kemarahan angkatan perang Inggris, yang akhirnya
berujung pada Peristiwa 10 November 1945.
Kendatipun penetapan
Hari Santri Nasional dilatarbelakangi oleh resolusi jihad yang diserukan oleh
KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU, akan tetapi peringatan ini tidak dimaksudkan
hanya untuk sekelompok atau golongan tertentu saja. Peringatan Hari Santri
Nasional di Indonesia harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan rasa nasionalisme
di seluruh kalangan umat Islam yang sudah ada sejak zaman penjajahan dulu.
Peran umat Islam
sendiri pada masa penjajahan dapat terlihat dari banyaknya pahlawan yang
melandaskan perjuangannya atas dasar agama Islam. Banyak para kiyai atau para
pemuka agama Islam dan raja-raja Islam yang turun dan memimpin peperangan
melawan para penjajah. Peran organisasi-organisasi Islam juga tidak kalah
hebatnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Organisasi tersebut
misalnya Sarikat Dagang Islam (SDI) dan Sarikat Islam (SI).
UU
Cipta Kerja Klater Pendidikan
Salah seorang Pengamat
pendidikan Budi Trikorayanto (Kontan.co.id,
20/08/2020) memberikan penilaian tentang UU Cipta Kerja Klaster Pendidikan,
bahwa dengan masuknya undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) ke
dalam Omnibus Law Cipta Kerja akan memberikan perubahan bagi pendidikan di
Indonesia. Terutama poin mengenai kemudahan masuknya lembaga pendidikan asing
dan pengajar asing, akan mampu memacu lembaga pendidikan dan pengajar lokal
untuk tingkatkan mutu dan kualitasnya. Dimana Karena selama ini kualitas guru
Indonesia memang diakui belum sepenuhnya bagus. Dari uji kompetensi yang
digelar pemerintah setiap tahunnya, hanya ada 30% guru yang mendapatkan nilai
bagus, sisanya masih kurang.
Meskipun lembaga
pendidikan dan pengajar asing akan dimudahkan masuk ke Indonesia, namun pemerintah
tetap harus melakukan filter yang berpatokan pada Pancasila.
Lembaga asing yang
masuk ke Indonesia tentu perlu di filter, filter pertama itu yang penting
berkaitan dengan ideologi jadi jangan nyebarin radikalis jangan nyebarin
liberalisme dan sebagainya, nah Pancasila sebagai filter utama kita.
Inilah sejarah Hari
Santri Nasional di Indonesia. Semoga
peringatan hari santri dapat dimaknai dengan baik oleh umat Islam maupun umat
non Islam di Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat. (mcn)
Belum ada Komentar
Posting Komentar