Opini - Sosial
Catatan Kasus Lahan, Politik Pertanahan Transmigrasi
Oleh : Ir. H. Sunu Pramono Budi, MM - Ketua Umum DPP PATRI
Ketika Cak Imin (A. Muhaimin Iskandar) mengakhiri jabatannya sebagai Menakertrans (2014), ada lebih 300.000 persil kasus lahan transmigran yang belum diselesaikan. Ada bermacam penyebabnya, dan lokusnya tersebar diseluruh daerah tujuan transmigrasi se Indonesia
Tahun 2015 setelah mengadakan Lokakarya Nasional Lahan Transmigrasi bersama lintas NGO/LSM (Kalibata, 2014), DPP PATRI mengusulkan konsep penyelesaian kasus lahan. Diantaranya dengan membentuk Kelompok Kerja Fasilitasi Penyelesaian Kasus Lahan Transmigrasi, disingkat Pokja Lahan Transmigrasi DPP PATRI (TWG -Transmigration Working Group). Ada 9 tugas Pokja (Nawa Karya TWG).
Pertama, menghimpun laporan dan pengaduan kasus lahan dari warga trans dan sekitarnya. Kedua, mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan lahan transmigrasi. Ketiga, menyusun peta permasalahan lahan transmigrasi
Keempat, mengumpulkan informasi dan pengalaman proses penyelesaian kasus lahan yang telah berkekuatan hukum (inkracht). Kelima, mengumpulkan Informasi (best practiced) proses penyelesaian kasus lahan secara kearifan lokal
Keenam, menyusun dan merumuskan berbagai model dan pola penyelesaian kasus lahan trans untuk disampaikan kepada pihak terkait, seperti legislatif, pemerintah (transmigrasi, BPN, kehutanan), pemda, dan pihak terkait lainnya
Ketujuh, menyelenggarakan diskusi, dialog, lokakarya, mediasi, dan advokasi kasus lahan dengan berbagai lintas pelaku (legislatif, eksekutif, masyarakat adat, perguruan tinggi, NGO, dan lainnya).
Kedelaoan, menggalang kemitraan dengan berbagai pihak untuk mendukung sumber dana penyelesaian kasus lahan transmigrasi. Dan kesembilan, mendokumentasikan kegiatan Pokja untuk bahan rujukan dan pertimbangan penyelesaian kasus lahan transmigrasi.
Mengingat DPP PATRI tidak mempunyai fasilitas dan dana yang cukup untuk menjalankan Nawa Karya tersebut, maka sebagai tindak lanjut MoU DPP PATRI dengan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi, PATRI melakukan Perjanjian Kerjasama dengan Ditjen Pengembangan Kawasan Transmigrasi.
Sejak bekerja sama 6 bulan, sekitar 1.000-an persil telah dapat diselesaikan. Diantaranya penyelesaian dengan cara kompensasi. Namun, mengingat masih banyaknya kasus lahan, penyelesaian secara normatif secara teoritis tidak mampu mengatasi sisa kasus yang ada. Oleh karena itu mutlak perlu upaya khusus dalam penyelesaian kasus lahan tersebut.
Setelah Pokja melakukan aktivitas pendataan, baik yang dilaporkan langsung, melalui pos, surel, dan internet, diketahui beberapa aktivis dan kelompok warga telah melakukan langkah penyelesaian sendiri dengan biaya sendiri.
Ada yang berhasil selesai, dan ada yang masih berproses. Berdasarkan pengalaman ini, dapat diperoleh pembelajaran penting, diantaranya: Penyelesaian kasus lahan tidak cukup bekal semangat, tetapi harus didukung dengan data/dokumen kepemilikan yang lengkap, sah, dan keterampilan teknis hukum.
Ditemukan ada beberapa model penyelesaian secara non konvensional (terobosan) yang belum banyak diketahui, yang perlu dilakukan. Ada Kelompok masyarakat yang mampu membayaratau membiayai sendiri pengacara non trans, sehingga ada harapan mereka juga ada kemampuan mendukung upaya-upaya Pokja.
Mengingat bahwa jumlah kasus lahan yang masih banyak, keterbatasan tenaga dan fasilitas Pokja Lahan DPP PATRI, adanya pengalaman terobosan penyelesaian kasus lahan yang pernah dilakukan anggota Pokja Lahan PATRI, serta adanya kemampuan warga dalam menggunakan atau membiayai jasa pengacara, perlu dilakukan upaya darurat (extra ordinary) dengan cara;
Pertana, mengusulkan kepada Presiden, DPR RI, dan Menteri untuk menghentikan proses pengadaan lahan baru dan pengiriman transmigran baru, hingga selesainya seluruh kasus lahan Transmigrasi
Kedua, melikuidasi satker Direktorat atau Dirjen yang berkaitan dengan pengadaan lahan, dan mengalihkan anggarannya untuk rehabilitasi kimtrans yang telah ada (fasos, fasum, pemugaran, penataan, dll.
Ketiga, membuat lembaga ad hock (dengan Keppres), semisal Badan Penyelesaian Lahan Transmigrasi, yang secara khusus bertugas membereskan kasus lahan trans, dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Dan keempat, Pokja dan seluruh aktivis serta jejaring PATRI diseluruh Indonesia menggalang dana khusus untuk mendukung penyelesaian kasus lahan.
Munculnya cuatan kasus Rante Karua, Kubu Raya, Kutai Timur, dan lainnya hanyalah puncak gunung es akibat tidak tuntasnya penyediaan lahan transmigrasi. Jika penyelesaian kasus lahan ini terbengkalai, maka dapat berpotensi pada:
Hancurnya citra lembaga penyelenggara transmigrasi, terutama ditingkat pusat hingga daerah. Kegagalan upaya Jokowi-JK yang bertekad menghadirkan peran negara ditengah problema warganya
Terpicunya kerusuhan antar warga transmigran atau pihak lain secara meluas, yang dapat menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan ketata negaraan
Memicu campur tangan asing yang dapat menyuburkan konflik oleh gerakan sparatisme. Terjadinya anarkhisme, dan hancurnya kewibawaan pemerintahan yang sah karena tidak mampu melindungi hak-hak warga negaranya.
Demikian catatan ini ditulis anak transmigran, yang secara mendalam mencermati fenomena lahan transmigrasi. Semoga tulisan ini mendapatkan perenungan bersungguh-sungguh dari kita semua. Kiranya renungan ini dapat dipertajam untuk ditindak lanjuti hasil Rakornas PATRI tahun 2016.
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar