Opini
Ibnu Khaldun, Bapak Peradaban Tunisia
Oleh : Zuhairi Misrawi, Duta Besar RI Untuk Tunisia
Saat tiba di Tunisia, yang terlihat pertama kali adalah patung Ibnu Khaldun, yang terletak di Jalan Habib Bourgaiba. Posisinya persis di depan Gereja Katedral St. Vincent de Paul, yang sangat historis. Di depan patung ada tulisan, I love Tunisia. Jutaan warga Tunisia melewati patung tersebut saban harinya, karena berada di jantung kota Tunis. Selain patung, Ibnu Khaldun juga diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Kota Tunis.
Hampir sebulan saya mencari alasan kenapa Ibnu Khaldun begitu penting bagi warga Tunisia, selain karena sosok berpengaruh di dunia melalui karya mognum opus-nya, Al-Muqaddimah. Jawabannya terdapat dalam buku Tunisia: An Arab Anomaly, karya Safwan M. Masri. Patung Ibnu Khaldun dibuat oleh seniman Tunisia, Zubair al-Turki pada tahun 1978 atas perintah Habib Bourgaiba, Bapak Proklamator Tunisia, sahabat karib Bung Karno.
Menurut Safwan M. Nasri, ada pesan penting yang hendak disampaikan oleh Habib Bourgaiba di balik pembangunan patung Ibnu Khaldun di jantung kota Tunis, yaitu agar seluruh warga Tunisia mempunyai pijakan berpikir yang kokoh untuk membangun peradaban kebangsaan dan kemanusiaan. Ibnu Khaldun bukan hanya simbol masa lalu, melainkan juga simbol masa depan Tunisia.
Pada hakikatnya, menurut Ibnu Khaldun, sebuah negara-bangsa sejatinya dapat membangun peradaban. Sebab jika peradaban sebuah bangsa mengalami kemajuan, maka akan membawa kemaslahatan yang lebih besar. Peradaban pada hakikatnya dibangun di atas nilai-nilai yang kokoh, yang dapat menggerakkan hati nurani dan nalar untuk mewujudkan kepentingan bersama, bangsa dan seluruh umat manusia.
Maka dari itu, Ibnu Khaldun mempunyai pengaruh tersendiri dalam sanubari dan nalar warga Tunisia. Pemikiran Ibnu Khaldun mendapatkan perhatian khusus dari para ulama dan cendekiawan Tunisia, bahkan warga biasa pada umumnya. Selain karena Ibnu Khaldun merupakan sosok kelahiran Tunisia, ia juga mempunyai pemikiran yang sangat cemerlang, yang diakui dan diadopsi para pemikir di seantero dunia.
Istimewanya, patung Ibnu Khaldun tidak hanya sekadar karya seni belaka, melainkan juga tertera pokok-pokok pemikiran yang menjadi pilar-pilar dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Menurut saya, patung Ibnu Khaldun ini dapat menjadi contoh para seniman di Tanah Air, yang tidak hanya berbentuk patung belaka, tetapi juga ada catatan penting pemikiran sang tokoh di dalam patung.
Ada tiga pemikiran penting yang setidak-tidaknya diperlukan untuk membangun peradaban, yang tertulis di dalam patung Ibnu Khaldun. Pertama, setiap bangsa hendaknya mampu membangun keadaban publik, yaitu gotong-royong. Pemikiran Ibnu Khaldun yang sangat terkenal, yaitu al-insanu madaniyyun bi al-thab’i.
Maknanya, pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan manusia yang lain. Sebab itu, gotong-royong menjadi sebuah keniscayaan hidup dalam rangka membangun peradaban. Tanpa gotong-royong mustahil sebuah bangsa bisa bertahan solid dan kokoh. Tanpa gotong-royong, peradaban akan ambruk.
Kerja sama dan kolaborasi menjadi keniscayaan, apalagi pada masa sekarang ini. Sejak zaman dulu, peradaban adiluhung ditandai sejauh mana keadaban publik mampu menjadi karakter utama sebuah bangsa.
Jika yang menonjol adalah kerja sama, kolaborasi, dan gotong-royong, maka sebuah bangsa akan mengalami kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah konflik dan perseteruan yang tidak berkesudahan, maka yang terjadi adalah kemunduran, keterbekangan, dan kejatuhan.
Maka dari itu, pemikiran Bung Karno dalam Pancasila 1 Juni 1945, yang menjelaskan esensi Pancasila adalah gotong-royong merupakan pemikiran genuine yang mempunyai sanad langsung pada pemikiran Ibnu Khaldun. Manusia membutuhkan manusia yang lain. Sebagai bangsa, kita harus memperkokoh persatuan dan persaudaraan untuk mencapai cita-cita bersama.
Kedua, keadilan merupakan prasyarat pembangunan peradaban. Ibnu Khaldun mempunyai ungkapan yang menarik, la sabila lil ‘imarah illa bil ‘adl. Maknya, tidak ada jalan bagi kemakmuran kecuali dengan menegakkan keadilan. Sebab itu, di dalam bukunya, ia menjelaskan panjang lebar perihal kekuasaan dan pengalaman-pengalaman dinasti Islam di masa lampau.
Masih dalam kerangka berfikir pentingnya membangun kerja sama, kolaborasi, dan gotong-royong, para pemimpin sejatinya harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap keadilan. Dalam konteks itu, Ibnu Khaldun senantiasa mengingatkan bahwa kekuasaan pada hakikatnya mempunyai dua dimensi: ketuhanan dan kemanusiaan. Kekuasaan merupakan mandat Tuhan sekaligus mandat manusia. Karena itu pula, kekuasaan harus digunakan sebaik-baiknya untuk mewujudkan kemakmuran dan kemaslahatan. Sementara itu, kemakmuran dan kemaslatahan tidak bisa dicapai kecuali dengan menegakkan keadilan.
Ibnu Khaldun mengingatkan, jatuhnya dinasti-dinasti Islam di masa lampau, karena kepemimpinan yang sejatinya dapat membangun peradaban, pada akhirnya jatuh pada kekuasaan yang tamak dan rakus untuk kepentingan kabilah, keturunan, dan golongannya saja. Ia mengingatkan kita semua agar belajar dari kejatuhan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, yang menjadikan kekuasaan hanya untuk kepentingan kelompoknya saja, bukan kepentingan semua golongan.
Ketiga, perlu kiranya kita belajar dari sejarah yang tepat. Apa yang terjadi pada saat ini, pada hakikatnya sudah dikisahkan dalam sejarah di masa lampau. Sebab itu, diperlukan pemahaman yang benar dan tepat terhadap sejarah di masa lampau.
Ibnu Khaldun mengingatkan, bahwa sejarah bukan hanya sekadar catatan peristiwa, melainkan lebih dari itu sejarah juga menyimpan detail-detail dinamika di balik peristiwa. Dan, kita harus mampu memahaminya dengan baik agar menjadi pelajaran berharga di masa-masa yang akan datang.
Dari sejarah, menurut Ibnu Khaldun, kita belajar untuk mengambil hal-hal yang baik sembari menanggalkan hal-hal yang buruk. Sungguh, sangat disayangkan jika kita tidak pernah belajar dari sejarah di masa lampau. Sebab itu, Bung Karno mempunyai ungkapan yang sangat terkenal, Jas Merah. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.
Tunisia sungguh beruntung mempunyai sosok besar Ibnu Khaldun. Tidak hanya itu, mereka juga menjadikannya sebagai pijakan dan teladan untuk membangun peradaban. Sebab ini pula, Tunisia berbeda dengan negara-negara Arab lainnya. Ada nuasa peradaban di negeri indah ini. Tunisia adalah anomali.
Dalam banyak kesempatan, saat diminta menyampaikan sambutan dan berjumpa para pemikir Tunisia, sebagai Duta Besar RI saya selalu mengutip pemikiran Ibnu Khaldun. Saya menjadikan Ibnu Khaldun sebagai instrumen diplomasi antara Indonesia-Tunisia untuk memperkokoh hubungan bilateral kedua negara. Mereka begitu bersemangat saat mendengarkan sosok Ibnu Khaldun, Bapak Peradaban Tunisia dan dunia.
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar