Abu Nuwas Menggetok Kepala Imam Besar

Oleh : Drs. H. Helmi Hidayat, MA

Pagi itu Abu Nuwas terkejut bukan main. Saat berjalan menuju masjid hendak salat Subuh, dia mendengar kalimat asing datang dari menara masjid. Awalnya dia tak yakin. Tapi, setelah menyimak dengan seksama, dia kaget muazzin melafalkan ‘’hayyal alal-jihaaad … ’’ dalam azannya. 

Tergopoh-gopoh Abu Nuwas masuk masjid lalu mendekati sang muazzin yang baru selesai membawakan azan. 

‘’Kamu ganti lafal hayya alash-shalaah dengan hayyal alal-jihaaaad? Siapa yang suruh? Itu bid’ah! Kamu mengarang ajaran yang tak diajarkan Rasulullah SAW,’’ tukas Abu Nuwas. 

Si muazzin, dengan merasa bersalah, hanya bisa terdiam lalu menunjuk seseorang tinggi besar di shaf terdepan. Dia tengah bersiap-siap salat sunnah. Oh, ternyata Munakkil Al-Yamani yang menyuruh muazzin mengganti lafal azan barusan, gumam Abu Nuwas. Karena Munakkil yang biasa jadi imam saat itu hendak shalat sunnah, Abu Nuwas menahan diri untuk tidak bertanya kepadanya. 

Usai salat Subuh dan berdoa, Munakkil Al-Yamani berdiri di depan jamaah lalu menyampaikan ceramah singkat seperti yang kerap ia lakukan usai salat Subuh. Dia mengaku sengaja memerintahkan muazzin mengganti lafal azan karena Baghdad saat ini sedang dalam kondisi genting. Kata Munakkil, pemerintah tidak suka pada Islam, ulama dikriminalisasi, khalifah membiarkan paham Assasin dari Persia berkembang lagi di Baghdad padahal paham ini dulu pernah dilarang. Pokoknya Baghdad sedang mencekam.
 
‘’Ingat, musuh sudah mengepung kita. Sebagai umat Islam kita harus berjihad di jalan Allah, kita harus siap perang. Makanya sejak Subuh ini dan seterusnya lafal azan akan diganti dengan hayya alal-jihaad agar umat siap perang,’’ katanya berapi-api. 

Abu Nuwas tentu saja tak sabar ingin membantah sang imam. Tidak benar apa yang dikatakan imam berbadan tambun tinggi besar ini. Buktinya, masjid-masjid di Baghdad masih leluasa menyelenggarakan salat, para ustaz bebas berceramah, bahkan tidak benar paham Assasin dibiarkan berkembang lagi karena faktanya kantor dewan pimpinan pusat paham terlarang itu tidak ada di Baghdad. Dia segera angkat tangan: 

‘’Waha Imam Munakkil Al-Yamani yang terhormat, benarkah apa yang Anda ceramahkan itu. Jika benar, apa buktinya Islam sedang dimusuhi dan ulama dikriminalisasi? Jika tidak benar, itu berbahaya sebab ceramah Anda bisa memprovokasi umat Islam. Baghdad bisa resah akibat provokasi Anda,’’ tanya Abu Nuwas semangat. 

‘’Sudahlah Abu Nuwas, diam kau! Mau jadi antek-antek istana ya? Apakah Anda tidak merasa musuh sudah mengepung kita. Di kepala saya ini bisa saya rasakan betapa banyak musuh yang jahat pada umat Islam. Tanya nurani Anda, wahai munafik!’’  

Jadi, boro-boro si imam besar itu menjelaskan argumentasinya, dia malah cepat-cepat menuding Abu Nuwas sebagai munafik. Memberi label ‘’munafik’’ kepada lawan diskusi memang sedang jadi trend di Baghdad, apalagi jika lawan diskusi dirasa kuat dalam logika dan argumentasi. Jurus retoris ini dianggap paling ampuh untuk memojokkan lawan bicara, terutama ketika mereka tersudut atau logika berpikir mereka mulai jongkok.
 
Dituding-dituding oleh imam besar, gede dan tambun kayak gajah, Abu Nuwas mengkeret juga. Dia takut digebuk dan merasa kalah fisik. Tapi, bukan Abu Nuwas kalau tak punya 1000 akal. Dia pulang sambil tersenyum. 

Benar saja, ketika terdengar azan Zuhur, Abu Nuwas bersiap-siap ke masjid. Tapi kali ini dia mengenakan baju perang, lengkap dengan baju zirah besi dan topi baja. Hanya saja, pedang di pinggangnya terbuat dari kayu. Karena baju besi yang dipakai terasa berat, Abu Nuwas pergi ke masjid mengendarai kuda perang juga. 

Jamaah satu masjid kontan geger. Apa-apaan ini, kata mereka. Dari balik topi baja Abu Nuwas hanya menatap mereka satu per satu lalu menjawab dengan nada serius.  ‘’Lho, bukankah tadi subuh kata imam besar kita dalam bahaya perang? Bukankah muazzin menyampaikan hayya alal-jihaad, artinya kita siap-siap perang?’’ 
Jamaah cuma geleng-geleng kepala.

Tak lama, sang imam besar datang lalu memimpin salat. Tapi, Abu Nuwas tidak ikut salat. Dia tetap berdiri paling belakang, berjaga-jaga laksana tantara perang yang mengawal barisan. Tak lama pedangnya diayun-ayunkan hingga menimbulkan suara berdesis, bahkan sesekali dibenturkan ke tembok dan lantai. Pokoknya Abu Nuwas benar-benar berisik, jamaah mulai terganggu. 

Demikian seterusnya Abu Nuwas bertingkah selama salat berlangsung. Sambil mengayun-ayunkan pedang, sesekali dia mengeluarkan suara gaduh: ‘’Ciaaaaaat …. Ciaaaaaat!’’ – beberapa jamaah sambil salat malah sampai menoleh ke arah Abu Nuwas padahal menoleh saat salat dilarang.

Begitu imam membaca salam tanda salat selesai, semua jamaah yang tadi terganggu oleh tingkah Abu Nuwas langsung berdiri dan mengepung pujangga Baghdad ini. Mereka mengeroyoknya, beberapa pukulan mendarat di wajah dan badan Abu Nuwas. 

Tapi Abu Nuwas malah terkekeh-kekeh menyaksikan tangan mereka kesakitan. Dia sudah berhitung akibat terburuk kelakuannya. Makanya dia pakai baju besi. Jadi, alih-alih takut dikeroyok, Abu Nuwas malah merangsek ke depan, lalu dengan cepat menuju si imam besar. 

Peletoook, Abu Nuwas memukulkan pedang kayunya ke kepala imam besar. Si tambun terpelanting ke lantai lalu diam. 
Lagi-lagi masjid geger. Abu Nuwas dibekuk. Tapi, karena tak mungkin memukuli Abu Nuwas yang mengenakan baju besi, jamaah masjid kemudian mengikat tangan Abu Nuwas lalu menyeretnya ke istana. Imam besar yang masih pingsan mereka naikkan ke atas kuda. 

Dari masjid ke istana, para jamaah menggiring Abu Nuwas seperti menggiring tukang copet. Sesekali mereka bertakbir. Masyarakat ikut berkerumun mencari tahu apa yang terjadi. Karena itu, di depan istana orang-orang menunpuk. 

‘’Abu Nuwas tertangkap. Tangannya terikat,’’ lapor pengawal kepada Khalifah Harun Al-Rasyid. 

‘’Babak belur?’’ tanya khalifah. 

‘’Tidak. Abu Nuwas memakai baju perang dari besi.’’

Kali ini khalifah yang kaget! 

Di depan khalifah, imam besar yang marah dan jamaah masjid yang emosional segera melaporkan apa yang terjadi. Mereka menuntut agar Abu Nuwas dihukum gantung atas tiga kesalahan: meninggalkan salat, menggangu orang salat, lalu dengan sengaja menggetok kepala imam besar. 

‘’Benar apa yang mereka laporkan itu, wahai Abu Nuwas,’’ kata Harun Al-Rasyid. 

Sebelum menjawab pertanyaan khalifah, Abu Nuwas minta persidangan dilakukan di lantai tiga istana, agar pandangan terjauh ke luar istana bisa dijangkau semua orang. Meski heran atas permintaan Abu Nuwas, Harun Al-Rasyid setuju. Pasti ada akal bulus yang hendak diperlihatkan kancil satu ini, gumam khalifah. 

Di lantai teratas istana, Abu Nuwas mulai melakukan pembelaan diri. Dia membantah tidak salat zuhur karena sebetulnya dia sedang melaksanakan salat khauf. Dalam Islam, salat khauf dilaksanakan saat terjadi perang. Ketika sebagian tantara Muslim salat, sebagian lain berjaga-jaga. Jika seluruh tantara salat di saat bersamaan, itu berbahaya karena sangat mungkin mereka diserang musuh secara tiba-tiba. 

‘’Anda jangan main-main, Abu Nuwas,’’ kata khalifah. ‘’Memangnya kita sedang dalam kondisi perang? Mana musuh kita?’’

Abu Nuwas kemudian menceritakan apa yang dialaminya sejak subuh tadi, mulai dari mendengar lafal azan yang diganti ‘’hayya alal-jihaad’’ sampai mendengar alasan Munakkil Al-Yamani yang memerintahkan lafal azan diganti. ‘’Nah, karena imam besar ini mengatakan kita sedang dikepung musuh, Baghdad mencekam, maka saya salat memakai baju perang ini, paduka,’’ jelas Abu Nuwas.

Mendengar penjelasan Abu Nuwas, sang imam besar jadi kikuk. Dia sadar penyair Baghdad itu sudah membenturkan dirinya dengan khalifah. Apalagi setelah itu Harun Al-Rasyid yang terkenal berwibawa menoleh tajam ke arahnya lalu bertanya: ‘’Benarkah apa yang diceritakan Abu Nuwas itu, wahai Munakkil Al-Yamani?’’

‘’Benar paduka, sayalah yang memerintahkan muazzin mengganti lafal azan agar umat Islam siap perang. Kami merasa umat Islam dizalimi, ulama dikriminalisasi, ideologi Assasin dibiarkan bangkit kembali padahal ideologi itu berbahaya buat persatuan Baghdad. Kami merasa musuh Islam siap menyerang kami,’’ jelas Munakkil, yakin. 

‘’Di mana musuh-musuh itu. Saya sengaja minta persidangan dilakukan di lantai teratas istana agar kita semua bisa melihat musuh dari jarak jauh. Tunjukkan di mana musuh Islam,’’ kata Abu Nuwas dengan nada jengkel. 

‘’Ya, mana musuh-musuh Islam yang Anda maksud,’’ ulang khalifah.

‘’Musuh-musuh itu memang tidak terlihat, paduka khalifah. Tapi kami merasakannya ada. Mengapa kami merasa dizalimi, merasa ulama dikriminalisasi, merasa ada ideologi terlarang dibiarkan tumbuh di negeri ini, itu semua karena kami merasa di kepala kami musuh-musuh itu ada dan nyata,’’ tegas Munakkil Al-Yamani.  

Setelah sang imam besar berkata seperti itu, tiba-tiba Abu Nuwas mendekat kepadanya, lalu pletooookkk … Pedang kayu Abu Nuwas lagi-lagi menghantam kepala Munakkil Al-Yamani. Si imam besar jatuh tersungkur. 

‘’Abu Nuwas, jangan main hakim sendiri di persidangan. Anda bisa ditangkap,’’ teriak khalifah. 

‘’Wahai khalifah yang mulia, saya tidak sedang main hakim sendiri. Barusan saya justru sedang menyelamatkan dia dari serangan musuh. Saat saya menggetok kepalanya di masjid tadi siang pun saya sedang menyelamatkannya dari serangan musuh,’’ jawab Abu Nuwas sopan. 

‘’Musuh? Musuh yang mana?’’ hardik khalifah.

‘’Lho, bukankah tadi paduka sendiri juga mendengar, kata imam besar musuh Islam memang tidak nyata tapi ada di kepalanya?’’

Takbiiiiiirrrr ….
Previous article
Next article

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel