Carubuk, Keris Identik dengan Jaka Tingkir

     Foto Keris Carubuk, (dok.pri)

Oleh : Alex Aji Saputra

Keris Carubuk atau Crubuk begitu identik dengan Sultan Pajang Hadiwijaya. Betapa tidak, pusaka buatan Mpu Supo Mandrangi  tersebut merupakan pemberian Sunan Kalijaga, walisongo yang menjadi panutan raja-raja Kesultanan Islam di Jawa dan juga masyarakatnya.  

Jauh sebelum menjadi ageman Hadiwijaya atau dikenal sebagai Jaka Tingkir, keris ini sudah masyhur sebagai ageman waliyulloh keturunan Bupati Tuban Raden Tumenggung Wilwatika-Dewi Nawang Rum tersebut untuk mendakwahkan Islam pada masyarakat Jawa.
 
Keberadaan keris sebagai ageman Sunan Kalijaga merupakan wujud  penghargaan terhadap benda yang menempati posisi istimewa di budaya Jawa, terutama di era Majapahit,  sekaligus simbol Islam dan budaya Jawa bisa padu dan berasimiliasi satu sama lain. Simbol inilah, termasuk dengan perbaduan pada dimensi budaya lain, menjadi Islam berkembang tanpa halangan.
      
Masyhurnya  Carubuk  juga karena kuatnya legenda yang menaungi kelahirannya. Pitutur menyebut, Keris Carubuk yang merupakan keris ketiga yang dibabar Mpu Supo selain Sengkelat dan Nogososro, dibuat atas pesanan Sunan Kalijaga yang menyerahkan bijih besi sebesar biji  asam Jawa.

Mungkinkah besi sekecil itu bisa menjadi sebilah keris berukuran normal? Karena karomah waliyulloh, bahan tersebut ternyata menjelma menjadi sebesar gunung.Hanya, hasil pekerjaan Mpu Supo tidak seperti dipesan Sunan Kalijaga yang menginginkan sebilah golok untuk menyembelih hewan kurban, tapi sebilah keris yang sangat indah berluk tujuh.
      
Cerita lain menuturkan, Carubuk sebagai dapur keris lahir jauh di era sebelumnya. Manuskrip Sejarah Mpu ing Tanah Jawi mengisahkan, Carubuk kali pertama dibabar Mpu Dewayasa II, cucu Mpu Dewayasa I yang mengabdi pada Raja Negeri Wiratha. 

Selain Carubuk, Mpu Dewayasa II juga membuat Kebo Lajer dan  Kabor. Pitutur lain menyebut,  Carubuk yang khusus untuk perempuan kali pertama dibuat Mpu Gandawijaya tahun 1125 Saka, pada era Pengging Wiratadya.
      
Di era senjakala Majapahit yang diwarnai dengan pertarungan antarkelompok masyarakat, Carubuk mewakili geliat  kaum santri. Di sisi lain ada keris lain yang turut menjadi simbol persaingan, yakni Sengkelat yang menyimbolkan gerakan rakyat akibat ketidakpuasan terhadap kerajaan, Condong Campur yang mewakili perlambang kepongahan bangsawan,  dan Sabuk Inten yang menjadi perwujudan  pragmatisme kelompok pengusaha. 

Bisa jadi, simbolisasi tersebut adalah realitas yang belakangan ditangkap Cliford James Geertz, antropolog asal Amerika Serikat, yang mengelompokkan masyarakat Jawa: priyayi, santri dan abangan.
    
Sangat mungkin Carubuk identik dengan santri karena kuatnya nilai spiritual yang melekat padanya. Kok bisa? Hal ini bisa dilihat dari makna Carubuk: “Bagaikan bumi”, jadi manusia harus “Momot, Bakuh, Pengkuh,aja tampik ingkan den arepi among marang ingkang becik kewolo, Kang ala aka den mohi“. 

Penjelasannya, manusia itu harus bagaikan bumi, tidak hanya menerima hal-hal yang kita sukai namun harus juga bisa menerima hal-hal yang tidak disukai, karena kesemuanya itu adalah wujud warna kehidupan, bagaikan bumi yang selalu dapat menerima biji yang baik ataupun yang tidak baik.
      
Tafsir filosofi Jawa lain menyebut,  Carubuk mengandung  makna siapapun agar selalu mengingat asal keberadaannya, menjalani hidup dan kehidupan sesuai yang telah digariskan, menyerahkan segala sesuatunya kepada kehendak Tuhan Yang Maha Esa, dan mempunyai sikap batin sanggup menerima ikhlas semua kehendak-Nya,  baik berupa rahmat maupun ujian setelah kita melakukan upaya dan ikhtiar.
      
Siapapun yang dipahamkan akan prinsip ini tidak akan lelah maupun putus asa menghadapi tantangan hidup untuk mencapai yang lebih. Sebab, usaha dan perjuangan yang dilakukan untuk mendapatkan peningkatan (materi maupun spiritual), bukan berdasarkan nafsu dan ambisi semata, tetapi sebagai sebuah laku atau kewajiban manusia dalam hidup. Dengan sikap ini perilaku yang ditunjukkan  selalu ikhlas dan bersyukur atas anugerah Tuhan.
      
Spiritualitas Carubuk juga tercermin dari luk-nya yang berjumlah tujuh.Dalam filosopi Jawa, tujuh yang disebut ‘pitu’ memiliki arti pitutur, piwulang, dan pitulungan. Angka tujuh juga dianggap merupakan angka keramat yang memiliki makna ketentraman kebahagiaan, kewibawaan dan kesuksesan. 

Angka tujuh pun dapat dipersamakan dengan jumlah lapisan langit (sap) hingga seluruhnya ada tujuh. Demikian pula dengan hari dalam seminggu yang terdiri dari 7 hari, atau kesempurnaan dan selamatan anak dalam kandungan dilakukan hitungan bulan ke-7 (pitonan), dalam upacara kematian pun dilakukan peringatan pada hari ke-7 (pitung dinanan).
      
Dalam perjalan sejarahnya,  oleh Sunan Kalijaga diberikan kepada Jaka Tingkir yang memiliki nama asli Mas Karebet. Konon, setelah memegang keris inilah Jaka Tingkir mampu menaklukkan kesaktian Keris Setan Kober. Bagaimana ceritanya? Kala itu, Arya Penangsang mengirim utusan untuk membunuh menanti Sultan Demak Trenggono tersebut.

Bahkan, keris  nggegirisi tersebut berhasil dia amankan. Belakangan, Jaka Tingkir mengembalikan keris tersebut. Arya Penangsang bukannya berterimakasih, malah tersinggung dan marah, hingga terjadi keributan. Sunan Kudus yang mengetahui keributan itu pun turun tangan melerai.
      
Tapi apakah langkah Sunan Kalijaga memberikan Carubuk kepada Jaka Tingkir hanya sebatas dari kesaktian, yakni untuk membentengi pendiri Kesultanan Pajang itu dari ancaman fisik, termasuk saat menghadapi ancaman pembunuhan yang dilakukan orang suruhan –bisa dibaca pembunuh bayaran- Arya Penangsang? 

Jika ini menjadi domain utama, pertanyaan lain kemudian muncul, yakni bukankah dia sudah memiliki bekal ilmu dan kanuragan yang sangat mumpuni.
      
Pertanyaan ini relevan karena sejak muda Jaka Tingkir sudah intens berguru pada nama-nama besar di kala itu. Para guru dimaksud antara lain Ki Ageng Butuh. Tokoh ini disebut anak dari Sunan Kalijaga dari istri Syarifah Zainab binti Syeich Siti Jenar. 

Ki Ageng butuh juga merupakan ipar Ki Ageng Kebo Kenanga, Pengging karena menikah dengan kakak kandungnya, Nyai Ratu Mandoko. Dari jalur Ki Ageng Pengging inilah terlahir tokoh-tokoh penguasa Jawa.
      
Namun cerita rakyat lain  yang berkembang menuturkan, sejatinya Ki Ageng Butuh ini tidak lain adalah nama samaran Ki Ageng Kenongo. Namanya berganti Butuh –dari kata ‘butuh urip’- karena dikejar dan  menjadi target operasi Sunan Kudus untuk diislamkan. Bila demikian cerita sebenarnya, maka Ki Ageng Butuh adalah orang tua Jaka Tingkir sendiri. Benarkah kisah ini, wallohualam.
      
Sejak muda Jaka Tinggir juga sudah mendapat gemblengan dari Ki Ageng Ngenis. Siapa beliau? Dia adalah putra bungsu Ki Ageng Sela yang menikah dengan Nyai Bicak –putri Sunan Ngerang. Ki Ageng Ngenis yang menikah dengan Nyai Ageng Enis inilah yang melahirkan Ki Ageng Pemanahan. 

Dari Pemanahan inilah Ki Ageng Ngenis memiliki cucu yang menjadi tokoh besar di Tanah Jawa, Danang Sutowijoyo, pendiri kerajaan Mataram Islam yang bergelar Panembahan Senopati, dengan dukungan ‘Tiga Serangkai Mataram’, yakni Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi.
      
Nama guru lain yang tak kalah hebatnya adalah Ki Kebo Kanigoro,  putra sulung Adipati Pengging  Handayaningrat dengan putri Brawijaya V Ratu Pembayun. Dengan demikian, dia adalah pewaris utama dinasti Majapahit. 

Hanya saja Kebo Kanigoro memilih meninggalikan ‘kehidupan dunia’ demi mendekatkan diri padaNya dan tinggal di lereng Gunung Merapi. Nama ini tak lain adalah pakde sendiri, karena Jaka Tingkir adalah anak dari adik kandungnyanya, Ki Kebo Kenongo. 
      
Kisah Jaka Tingkir menimba ilmu ke Kebo Kanigoro mengemuka kala Jaka Tingkir tengah galau setelah didepak dari Demak karena membunuh lurah atau kepala prajurit yang dikenal congkak, Dadung Awuk. Pasca belajar dari Kebo Kanigoro, inilah Jaka Tingkir kembali ke Demak dengan diikuti cantrik Kebo Kanigoro- Mas Manca, Mas Wila dan Ki Wuragil. 

Kembalinya Jaka Tingkir ini kemudian diikuti munculnya cerita tentang tragedi Kebo Danu yang menjadi wasilah Jaka Tingkir diangkat menjadi kepala prajurit Demai atau lurah wiratamtama hingga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggono.
      
Bila Jaka Tingkir sudah memiliki guru spiritual sekaligus kanuragan begitu hebat, tentu tidak urgen Sunan Kalijaga memberikan Carubuk. Lantas untuk apa? Bisa jadi, maksudnya mengarah pada fungsi keris sebagai simbol atau pesan. Sebagai waliyullah, sangat mungkin Sunan Kalijaga sudah dipahamkan bahwa kelak Jaka Tingkir akan meneruskan kepemimpinan kekuasaan Islam di Tanah Jawa. 

Dengan mewariskan Carubuk, Sunan Kalijaga  berharap Jaka Tingkir bisa meneruskan perjuangan dakwah membumikan Islam di kalangan rakyatnya, seperti dia lakukan bersama para walisongo lain, dengan tetap menjunjung tinggi budaya Jawa agar Islam bisa berkembang luas.
      
Di sisi lain, walaupun nantinya menjadi raja, melalui Carubuk  Sunan Kalijaga meminta Jaka Tingkir tetap berpegang pada nilai spiritual yang melekat pada Carubuk, yakni selalu mengingatNya dan iklhas menjalani takdirNya. 

Barangkali karena spiritualitas Carubuk inilah, Jaka Tingkir kelak dengan ikhlas menjalani takdir bahwa Kesultanan Pajang harus berakhir dan legowo menyerahkan kekuasannya kepada Sutowijoyo, sang anak angkat yang pernah berkonflik dengannya.
      
Terlepas dari apapun kisah yang  terjadi,  Carubuk menjadi sangat identik dengan Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya saat menjadi Sultan Pajang. Bukan hanya itu, dapur ini juga populer disebut sebagai tangguh Pajang. Padahal, keris tersebut dibuat di era akhir Majapahit. 

Bahkan mitosnya,  Carubuk lahir di era Kerajaan Wiratha, sebuah kerajaan yang eksis di dunia pewayangan dan tersohor karena Pendawa Lima melakukan  penyamarannya (Ajgnata Vasa) di hutan Kamyaka dan Dwaita yang berada di wilayah kerajaan ini.
      
Kuatnya persepsi tentang keterkaitan Carubuk dengan Pajang seperti halnya keterkaitan kesultanan tersebut dengan Keris Umyang Jimpe. Padahal, keris tersebut lahir di era Kesultanan Demak di tengah konflik Arya Penangsang dengan Ratu Kalinyamat, setelah sang suami, Pangeran Hadirin, dibunuh Arya Penangsang yang kala itu menjabat sebagai bupati Jipang Panolan.
      
Mpu Joko Supo yang mendapat petunjuk Sunan Kalijaga untuk menepi di Sumyang Jimpe. Di pesanggarahan baru inilah Joko Supo membabar keris yang pada  gandik kanan dan kiri, baik keris berluk atau lurus, diberi ornamen pendeta semedi atau dapur putut. Keris  yang belakangan populer disebut  Umyang Jimpe diperintahkan Sunan Kalijaga mengabdi pada Jaka Tingkir yang sudah menjadi sultan Pajang  dengan membawa Umyang Jimpe. 
      
Saat tiba di Pajang, Sultan Hadiwijoyo tengah menginterogasi seorang tersangka. Dengan wasilah pusaka keris  Umyang Jimpe yang dibawa Joko Supo,  tersangka tersebut ngomyang (bicara tanpa kendali) dan kasus tersebut terungkap karena pengakuan dari tersangka sendiri.

Barangkali karena peristiwa inilah Keris Umyang Jimbe menjadi begitu populer dan identik dengan Sultan Hadiwijoyo dan Kesultanan Pajang.Padahal faktanya, Umyang Jimpe terlahir di era sebelumnya. 
      
Di sisi lain, bisa jadi kepopuleran Carubuk dan Umyang Jimpe karena  para empu saat itu memproduksi secara massal kedua dapur keris tersebut sebagai wujud kekaguman atau kebanggaan akan dua  dapur pusaka yang dipegang sang Sultan. 

Atau di sisi lain bisa jadi pembesar Kesultanan Pajang dan para bupati di wilayah itu terinspirasi karomah dua keris tersebut  hingga memesan empu untuk dibuatkan keris dengan dapur sama dan berharap angsar yang sama dari keris yang mereka pesan. Gambar keris Carubuk di atas merupakan contoh keris yang dibuat di era Pajang.(*)

Catatan disusun dari berbagai sumber dan penafsiran subyektif. Keris meminjam koleksi teman.
Previous article
Next article

Belum ada Komentar

Posting Komentar

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel