Opini
Zaman Edan (Syair Termashur Ronggowarsito)
Oleh : Indra Krena Wicaksana
Di zaman edan, orang kaya semakin kaya sedangkan orang yang miskin semakin tidak berdaya. Artinya zaman yang penuh dengan ketidakjelasan atau tidak menentu. Bait ketujuh dalam serat Kalatidha tentang Zaman Edan ditulis tahun 1860, oleh pujangga Surakarta.
Syair “Zaman Edan” yang dituliskan oleh pujangga Ronggowarsito saat ini masih relevan, tak bisa dipungkiri zaman sekarang memang zaman penuh kebohongan atau berita bohong. Akan tetapi, perbedaannya adalah perkembangan teknologi yang saat ini semua kalangan bisa melihat berita di berbagai macam media.
Bait ketujuh dalam Serat Kalatidha tentang Zaman Edan ini sangat populer pada saat Warsito masih hidup, bahkan Serat Kalatidha ini sampai didengar oleh orang-orang Belanda disana terkhususnya di Kota Leiden.
Kalatidha adalah kritik atau sindiran berbagai hal yang terjadi pada masa itu. Kalatidha berarti waktu atau jaman edan. Ditulis dalam bentuk Macapat Sinom oleh Warsito antara tahun 1861-1873 pada masa Sri Sunan Pakubuwono IX. Lebih dari 150 tahun silam pada masa itu, berita palsu ternyata sudah merebak dan merusak.
Bayangkan! Hampir satu abad lebih, Warsito sudah merasakan adanya kerusakan di negeri ini. Di zaman edan, untuk melamar pekerjaan pun harus menyuap dulu baru diterima. Sedangkan korupsi merajalela saat ini, orang yang sudah punya jabatan dan hartanya berlimpah masih saja tidak merasa puas.
“Sejatinya yang disebut Jaman Edan adalah peristiwa masa lampau, tetapi fenomena yang sama dipercaya oleh masyarakat Jawa selalu muncul dari waktu ke waktu, pada masa pemerintahan siapa pun. Padahal zaman rusuh ini terjadi dari tahun 1700 hingga tahun 1800, dengan ciri-ciri :
1. Artati ‘uang’. Pada zaman ini orang tergila-gila kepada uang. Kehidupan sangat sulit, dan manusia bekerja membanting tulang demi uang.
2. Nistana ‘kemelaratan’. Kemiskinan tumbuh merajalela, dan bumi tidak lagi memberikan kekayaannya sehingga banyak orang berbuat jahat karena hati dan pikirannya dikuasai oleh nafsu serakahnya.
3. Jutya “kejahatan”. Kejahatan tumbuh di mana-mana karena jiwa orang Jawa telah dikuasai oleh nafsu angkara murka,” tulis Andjar Any dalam Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan Sabdapalon (1979).
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar