Nasional
Cuma Ada 3Jenderal Bintang Lima di Indonesia, Inilah Sosoknya
JAKARTA - Di Indonesia, pangkat Jenderal Besar Bintang Lima menjadi pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pangkat tersebut tidak dapat diperoleh oleh sembarang Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Mereka yang memiliki pangkat Jenderal Bintang Lima merupakan Perwira Tinggi yang berjasa terhadap bangsa dan negara. Hal ini tersemat dalam Pasal 7 Ayat (2a) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1997, berikut bunyinya.
"Pangkat Jenderal Besar Tentara Nasional Indonesia, Laksamana Besar Tentara Nasional, dan Marsekal Besar Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan kepada Perwira Tinggi yang sangat berjasa terhadap perkembangan bangsa dan negara pada umumnya dan Tentara Nasional pada khususnya."
Dalam pasal tersebut dijelaskan juga bahwa pemberian pangkat diberikan oleh Presiden atas usul Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kini menjadi TNI.
Adapun mengenai jasa yang disebut dalam ketentuan yang memperoleh pangkat, yaitu:
Perwira Tinggi terbaik yang tidak pernah mengenal berhenti dalam perjuangannya dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Perwira Tinggi terbaik yang pernah memimpin perang besar dan berhasil dalam pelaksanaan tugasnya.
Perwira Tinggi terbaik yang telah meletakkan dasar-dasar perjuangan ABRI.
Sejak tahun 1997 hingga saat ini, pangkat Jenderal Besar di Indonesia baru diberikan kepada 3 Perwira Tinggi, yaitu Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, Jenderal Besar Soeharto, dan Jenderal Besar Sudirman.
Lantas, bagaimana profil dari ketiga Jenderal Bintang Lima itu? Berikut ulasannya.
1. Jenderal Abdul Haris Nasution
AH Nasution dianugerahi pangkat kehormatan menjadi Jenderal Besar TNI sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 46/ABRI/1997, pada 30 September 1997.
Berdasarkan laman resmi Pusat Sejarah TNI, AH Nasution lahir di Huta Pungkut, Kecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan, pada 3 Desember 1918. Ia merupakan putra kedua dari pasangan H Abdul Halim Nasution dan Zahara Lubis.
Menilik riwayat pendidikannya, AH Nasution menyelesaikan studi di Hollandsche Inlandsche School (HIS) pada tahun 1932. Setelahnya ia melanjutkan studi ke Sekolah Raja Hoofden School atau sekolah pamong praja di Bukit Tinggi.
Lalu, di tahun 1935 Nasution melanjutkan pendidikannya di Hollandsche Inlandsche Kweekschool (HIK), yaitu Sekolah Guru Menengah di Bandung. Selanjutnya, ia mengikuti ujian Algemene Middlebaare School B (AMS) di Jakarta, dan pada 1938 ia mendapat dua ijazah sekaligus.
Setelah menyelesaikan studinya, Nasution lalu menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Sayangnya, profesi tersebut kurang cocok untuknya, sehingga ia mulai tertarik berkecimpung di bidang militer dengan mengikuti rangkaian pendidikan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) KNIL atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung pada 1940-1942.
Seusai menjalani studi militernya, Nasution diangkat menjadi vaandrig atau pembantu letnan calon perwira dan ditempatkan di Batalion 3 Surabaya, Kebalen. Saat Perang Dunia II, Batalion 3 ditugasi untuk mempertahankan pelabuhan Tanjung Perak.
Pasca kemerdekaan Indonesia, pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat atau TKR. Nasution lantas diangkat menjadi kepala staf komandemen TKR I/Jawa Barat. Ia bertugas menyusun organisasi dan administrasi.
Lalu, di tahun 1948 dirinya menjabat sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), kariernya kian melejit hingga menjadi Jenderal Mayor dan menjabat Panglima Divisi III/TKR Priangan yang juga dikenal menjadi Divisi I/Siliwangi.
Pada 10 Desember 1949, Nasution diangkat menjadi kepala staf angkatan darat (KSAD). Ia sempat dinonaktifkan akibat konflik antara Angkatan Darat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena dianggap terlalu jauh mencampuri masalah internal Angkatan Darat.
Selama berkiprah di militer, Nasution memiliki sejumlah peran penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ia merupakan sebagai peletak dasar perang gerilya melawan Belanda saat memimpin pasukan Siliwangi pada masa Agresi Militer I Belanda.
Selain itu, Nasution juga menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata pada 1965 dan menjadi salah satu target peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI). Meski selamat, anak bungsunya yakni Ade Irma Suryani menjadi korban dari tragedi berdarah tersebut.
AH Nasution wafat pada 6 September 2000 akibat menderita stroke dan berujung koma. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
2. Jenderal Sudirman
Merangkum dari arsip detikcom, Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh yang memperoleh pangkat bintang lima. Ia lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga pada 24 Januari 1916.
Putra dari pasangan Karsid Kartawiuraji dan Siyem ini lebih sering tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo setelah diadopsi. Ketika Sudirman pindah ke Cilacap pada 1916, ia bergabung dengan organisasi Islam Muhammadiyah dan menjadi siswa rajin serta aktif di tiap kegiatan ekstrakurikuler.
Memiliki kemampuan dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam agama, menjadikan Jenderal Sudirman dihormati oleh masyarakat. Ketika usianya menginjak 31 tahun, ia telah menjadi seorang jenderal.
Menderita sakit paru-paru yang parah tidak menghentikannya untuk tetap bergerilya melawan Belanda. Jenderal Sudirman selalu konsisten dan konsekuen, bahkan ketika membela kepentingan Tanah Air. Sikap bijaksananya ini terlihat ketika Agresi Militer II Belanda.
Dalam buku IPS karya Drs. Anwar Kurnia disebutkan bahwa TNI mundur dan melakukan perlawanan gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.
Panglima Besar Jenderal Sudirman memerintahkan tentara republik ke luar kota untuk bergerilya kembali. Jenderal Sudirman memutuskan untuk memimpin gerilya meski dirinya kala itu dalam keadaan sakit berat yakni TBC.
Sudirman memimpin perjuangan gerilya tersebut dengan berpindah-pindah. Dalam keadaan kesehatannya yang semakin menurun, ia terpaksa harus ditandu.
Meski begitu, Jenderal Sudirman telah menjelajahi wilayah gerilya di daerah selatan Yogyakarta, Karesidenan Surakarta, Madiun, dan Kediri.
Adapun mengenai peranan Jenderal Sudirman dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yaitu:
1. Pada tanggal 23 Agustus 1949, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), Sudirman diangkat menjadi ketua BKR untuk wilayah Banyumas.
2. Tanggal 12 Desember 1945, Kolonel Sudirman memimpin TKR (Tentara Keamanan Rakyat) mengusir sekutu dari Ambarawa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pengaruh sekutu.
3. Pada awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sudirman memimpin pasukan PETA (Pembela Tanah Air) dalam merebut senjata dari tentara Jepang yang ada di Indonesia.
Jenderal Sudirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950 di usianya yang ke-34 tahun.
3. Jenderal Soeharto
Penerima pangkat Jenderal Besar selanjutnya adalah Jenderal Soeharto. Melansir dari laman resmi Perpusnas, Mayor Jenderal TNI Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Yogyakarta. Ayahnya merupakan seorang petani, yaitu Kertosudiro dan ibunya adalah Sukirah.
Pendidkan Soeharto dijalani dengan berpindah-pindah. Di tahun 1941, dia terpilih sebagai prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah.
Soeharto resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Sejumlah jabatan yang pernah ia tempati di kemiliteran yaitu sersan tenatara KNIL, komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan Komandan Batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Kemudian, pada tahun 26 Desember 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah. Seorang anak pegawai Mangkunegaran di Solo. Mereka dikaruniai enam anak, yaitu Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Heriyadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Soeharto ditunjuk menjadi presiden pasca pemberontakan G30S PKI. Kala itu, MPRS melakukan sidang istimewa pada 1967 dan menunjuk Soeharto sebagai pejabat Presiden. Tahun berikutnya, pada Maret 1968 dirinya resmi menjabat sebagai Presiden RI Kedua.
Dalam sejarahnya, Soeharto menjadi presiden dengan masa pemerintahan terlama di Indonesia, yakni selama 32 tahun melalui 6 kali pemilu.
Selama itu, ia didampingi oleh sejumlah Wakil Presiden yaitu Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Soedharmono, Try Sutrisno, hingga Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie.
Kepemimpinannya dianggap berhasil karena menjaga stabilitas negara. Bahkan dirinya dijuluki sebagai Bapak Pembangunan. Namun, stabilitas yang selama itu ia gaungkan akhirnya goyah, krisis ekonomi 1998 menjadi titik awal dituntutnya Soeharto untuk mundur dari kursi pemerintahan.
Suasana memanas, demonstrasi mahasiswa hingga kerusuhan terjadi di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan daerah lainnya. Mereka menuntut reformasi untuk dilakukan dan Soeharto diminta turun dari jabatannya.
Akhirnya, sidang digelar dan menghasilkan keputusan bulat. Pada hari Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa dia melepaskan jabatannya sebagai presiden.
8 Tahun kemudian Soeharto meninggal dunia usai menjalani perawatan selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Ia wafat pada 27 Januari 2008 dan dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Nah, itulah profil 3 Jenderal Bintang Lima yang terdapat di Indonesia. Semoga informasi di atas dapat menambah wawasan detikers ya!
Dikutip dari laman detikedu
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar