Opini
Resolusi Jihad dan Bandung Lautan Api
Oleh : Fauz Noor
Tanggal 22 Oktober 1945, barangkali adalah puncak perjuangan kaum santri dalam mencintai Indonesia. Disebut puncak adalah karena satu fatwa bergema untuk tak hirau nyawa, yang cuma satu dan tak bisa diganti, demi agama dan bangsa.
Fatwa itu berkata untuk mereka yang berada di radius 10 km dari Surabaya. Mereka bisa menjadi pahlawan, atau harus menjadi pahlawan. Tetapi, fatwa itu pun kakoncara sampai peloksok Jawa, mengalir deras memenuhi setiap jiwa sampai pojok-pojok desa, pun sampai ke tanah Sunda. Dua pimpinan Hizbulllah Priangan, KH. Anwar Musaddad dan KH. Musthafa Kamil, berdiskusi dalam memenuhi “panggilan” Jihad.
Mereka berdua sepakat, KH. Anwar menjaga Jawa Barat yang bukan tak gawat sebab Sekutu mulai berdatang kembali, dan KH. Musthafa Kamil memimpin ratusan santri untuk pergi dengan nyawa yang satu: Indonesia Merdeka adalah Selamanya. KH. Musthafa Kamil gugur sebagai syahid di Surabaya.
Heroik memang, tetapi setiap puncak nampaknya selalu menyimpan ruang refleksi. Apakah puncak adalah kemestian? Apakah puncak adalah kewajiban satu-satunya? Nampaknya bukan, karena berjuang selalu menyimpan banyak jalan dan pilihan.
Ketika Sekutu memenuhi Bandung dan bersiap menyiapkan Paris Van Java sebagai pusat amunisi militer, para Kiai Jawa Barat belajar banyak dari 10 November 45. Bersama Letnan A.H. Nasution dan tentara lainnya, para kiai berkumpul di Pesantren Cipari pimpinan KH. Yusuf Tauziri, berdiskusi bagaimana menyikapi para tentara sekutu di Bandung. Diputuskan di sana, dengan sembunyi dan langkah rahasia, dipersiapkan untuk “membumihanguskan Bandung”.
Sesuai rencana, para santri, para tentara, warga biasa, pemuda GARONG (gabungan romusha ngamuk), pada 23-24 Maret 1946, Bandung menjadi Lautan Api.
“Saya terharu jika mengenang peristiwa 24 Maret 1946 itu. Tentara membakar sendiri markas, asrama-asramanya, dan bangunan-bangunan penting. Rakyat banyak yang membakar sendiri rumahnya. Jalan-jalan keluar mulai selatan Cimahi sampai Ujungberung di timur penuh dengan pengungsi. Langit benderang oleh lautan api. Udara dipenuhi ledakan serta tembakan,” kenang AH. Nasution dengan nyeri. (Serial Kiprah Sejarah: Diangkat dari Majalah Tempo, 1993, Jilid 1, hlm. 17).
Kala itu, masyarakat kita terjajah dan tak bahagia, itu sebabnya memerlukan pahlawan. Dalam Galileo karya Bercht, “Tak berbahagia negri yang memerlukan pahlawan.” Mungkin benar omongan ini, tapi kita percaya bahwa para Syuhada sudah bahagia di alam sana.
Dan kita sekarang ini, apalagi di tengah pandemi Corona, benarkah kita bahagia? Nampaknya kita masih memerlukan para pahlawan, dan setiap kita bisa menjadi pahlawan. Dengan cara yang sangat sederhana: tetap bermasker, rajin cuci tangan, dan jaga jarak.
Santri Sehat, Indonesia Kuat.
Selamat Hari Santri. Bangga menjadi Santri.
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar