Sejarah Masjidil Haram dari Masa ke Masa
Masjidil Haram adalah tujuan utama dalam ibadah haji, yaitu tempat bagi para jemaah haji melakukan tawaf dan sa’i. Masjid ini dapat menampung 820.000 jemaah ketika musim haji dan mampu bertambah menjadi dua juta jemaah ketika salat Id.
Sejarah Masjidil Haram sebagai masjid tertua di dunia tentunya sangat panjang. Masjid ini dibangun mengelilingi Ka'bah yang menjadi arah kiblat bagi umat Islam dalam mengerjakan ibadah shalat di seluruh dunia.
Sejarah Masjidil Haram
Sejarah Masjidil Haram tentunya tidak terlepas dari pembangunan Ka’bah. Ka’bah adalah bangunan suci yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS yang terletak di dalam Masjidil Haram di Makkah. Ka’bah merupakan bangunan berbentuk kubus, dijadikan kiblat salat bagi umat Islam dan tempat tawaf pada waktu menunaikan ibadah haji dan umrah.
Allah SWT memerintahkan kepada Ibrahim dan putranya, Ismail untuk membangun sebuah bangunan di tengah perempatan kota Makkah untuk dijadikan tempat beribadah. Sejak pembangunan tersebut, Ka'bah dan Masjidil Haram dijaga oleh para keturunan Ismail.
Masjidil Haram pada Masa Jahiliah
Masjidil Haram menjadi pusat atau tujuan utama para peziarah, hal ini terutama karena adanya Ka'bah. Hal ini mengakibatkan Abrahah dari Yaman merasa iri dan ingin menghancurkan Ka'bah. Mereka membawa pasukan bergajah untuk menghancurkan Ka'bah.
Namun dalam perjalanan, semua pasukan itu dilempari batu berapi dari neraka oleh burung-burung ababil, sehingga pasukan tersebut mati dalam keadaan tubuh yang rusak dan berlubang-lubang selayaknya daun-daun yang dimakan ulat. Peristiwa itu terjadi pada tahun gajah, yakni tahun saat Nabi Muhammad SAW dilahirkan, yaitu pada tahun 571 M.
Setelah 17 Tahun percobaan penyerangan Ka'bah, bangunan Ka'bah hancur akibat banjir besar yang melanda kota Makkah. Para petinggi Quraisy sepakat untuk menggunakan uang yang halal dalam pembangunan Ka'bah, akibatnya ukuran Ka'bah menjadi lebih kecil dari ukuran sebelumnya sehingga Hijir Ismail tidak termasuk ke dalam Ka'bah.
Pertikaian terjadi antara para petinggi Quraisy setelah masanya peletakkan batu Hajar Aswad. Mereka berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan batu itu. Hingga akhirnya, datanglah Muhammad yang mengusulkan agar batu itu diletakkan di sebuah kain yang setiap ujungnya dipegang oleh masing-masing ketua kabilah. Berkat peristiwa ini Muhammad digelari sebagai al-amin.
Masa Nabi Muhammad SAW
Masjidil Haram sejak dibangunnya Ka'bah sampai dengan masa permulaan Islam terdiri dari halaman yang luas. Di tengah Masjidil Haram ada Ka'bah dan tidak ada dinding yang mengelilinginya, hanya bangunan rumah-rumah penduduk Makkah yang mengelilingi halaman itu. Di sela rumah-rumah tersebut teradapat lorong-lorong yang mengantar ke Ka'bah, dinamakan dengan nama-nama kabilah yang melaluinya atau yang berdekatan dengannya. Diperkirakan luas Masjidil Haram pada masa Muhammad antara 1490 sampai 2000 m².
Masa Kekhalifahan
Dari masa ke masa, tempat tawaf diperluas berkali-kali, agar dapat mencukupi dengan bertambahnya jumlah orang-orang yang tawaf. Maka dari itu pada tahun 17 H/638 M Umar bin Khattab al-Faruq membeli rumah-rumah yang menempel dengan Masjidil Haram dan menghancurkannya, serta memasukkan area tanahnya ke dalam Masjidil Haram.
Kemudian ia mengubininya dengan hamparan kerikil, membangun tembok mengelilingi masjid setinggi kurang satu depa (6 kaki), dan membuatkan beberapa pintu. Lampu-lampu minyak penerang masjid diletakkan di dinding ini, diperkiran luas tambahan ini adalah 840 m2.
Ini adalah perluasan pertama untuk Masjidil Haram. Pada tahun 26 H/646 M, Khalifah Utsman bin Affan menjadikan bagi masjid koridor-koridor sebagai tempat berteduh untuk orang-orang. Diperkirakan perluasan ini mencapai 2040 m2. Pada tahun 65 H/ 684 M setelah Abdullah bin Zubair menyelesaikan pemugaran Ka'bah, dia memperluas Masjidil Haram hingga mencapai 4050 m2.
Masa Daulat Umayah
Pada tahun 137 H/754 M, Khalifah Kekhalifahan Abbasiyah, Abu Ja'far an-Nilansyur al-Abbasi memerintahkan untuk memugar Masjidil Haram dan memperluasnya serta menghiasinya dengan emas dan mozaik. Ia adalah orang pertama yang menutup Hijir Ismail dengan marmer, diperkirakan tambahan yang dilakukan seluas 4700 m2.
Kemudian pada tahun 160 H/776 M Khalifah al-Mahdi memperluas Masjidil Haram dari arah timur, barat, dan utara, dan tidak memperluas bagian selatan disebabkan adanya jalan untuk air bah Wadi Ibrahim, tambahan perluasan ini diperkirakan 7950 m2. Dan tatkala Khalifah al-Mahdi menunaikan haji tahun 164 H/ 780 M dia memerintahkan agar jalan air bah wadi Ibrahim dipindah, dan memperluas bagian selatan sehingga Masjidil Haram menjadi segi empat, tambahan perluasan ini di perkirakan mencapai 2360 m2.
Pada tahun 281 H/894 M, Khalifah al-Mu'tadhid Billahi memasukkan Daar An-Nadwah ke dalam Masjidil Haram, rumah ini cukup luas terletak di arah utara masjid, memiliki halaman yang luas, dahulunya biasa disinggahi oleh para khalifah dan gubernur, kemudian ditinggalkan. Maka dimasukkanlah ke dalam masjid, dibangun di atasnya menara, dan diramaikan dengan pilar-pilar, kubah-kubah, serta koridor-koridor, diatapi dengan kayu sajj yang dihiasi.
Tambahan ini diperkirakan seluas 1250 m2. Dan pada tahun 306 H/918 M, Khalifah al-Muqtadir Billahi al-Abbasi memerintahkan agar menambah pintu Ibrahim di arah barat masjid, dahulunya adalah halaman yang luas di antara dua rumah Siti Zubaidah, luasnya diperkirakan 850 m2.
Masa Kekhakifahan Usmaniyah
Pada tahun 979 H/ 1571 M, Sultan Salim al-Utsmani memugar bangunan masjid secara total, tanpa menambah luasnya, dan bangunan ini tetap ada sampai sekarang dikenal dengan bangunan Usmaniah. Pada 1579, Sultan Selim II dari Kesultanan Usmaniah menugaskan arsitek ternama Turki, Mimar Sinan untuk merenovasi Masjidil Haram. Sinan mengganti atap masjid yang rata dengan kubah lengkap dengan hiasan kaligrafi di bagian dalamnya.
Sinan juga menambah empat pilar penyangga tambahan yang disebut-sebut sebagai rintisan dari bentuk arsitektur masjid-masjid modern. Pada tahun 1621 dan 1629, banjir bandang melanda Makkah dan sekitarnya, mengakibatkan kerusakan pada Masjidil Haram dan Ka'bah.
Pada masa kekuasaan Sultan Murad IV tahun 1629, Ka'bah dibangun kembali dengan batu-batu dari Makkah, sedangkan Masjidil Haram juga mengalami renovasi kembali. Pada renovasi tersebut, ditambahkan tiga menara tambahan sehingga keseluruhan menara menjadi tujuh. Marmer pelapis lantai pun diganti dengan yang baru. Sejak saat itu, arsitektur Masjidil Haram tak berubah hingga hampir tiga abad.
Masa Jekuasaan Raja-Raja Saudi
Renovasi besar pertama yang dilakukan pada masa raja-raja Saudi berlangsung pada tahun 1955 hingga tahun 1973. Selain penambahan tiga menara, atap masjid pun diperbaiki. Sementara lantai masjid diganti dengan marmer yang baru.
Pada renovasi ini, dua bukit kecil Shofa dan Marwah dibuat di dalam Masjidil Haram. Dalam renovasi ini pula, seluruh fitur yang dibangun oleh arsitek kekaisaran Usmaniah, termasuk empat pilar, dirobohkan.
Renovasi kedua dilakukan ketika Arab Saudi dipimpin oleh Raja Fahd bin Abdulaziz Al Saud. Raja Fahd, pada tahun 1982 hingga 1988, membangun sebuah sayap bangunan baru dan kawasan shalat ruang terbuka di Masjidil Haram. Renovasi ketiga dilakukan pada tahun 1988 hingga 2005. Pada renovasi ini, dibangun beberapa menara tambahan, serta area shalat di dalam dan sekitar masjid.
Sebuah kediaman untuk raja juga dibangun berhadapan dengan masjid. Selain itu, dibangun pula 18 gerbang tambahan, tiga kubah, serta 500 pilar marmer. Masjidil Haram juga dilengkapi dengan pendingin udara, eskalator, dan sistem pengairan.
Pada tahun 2007, Raja Abdullah memulai proyek raksasa untuk memperluas kapasitas masjid agar bisa menampung hingga 2 juta jemaah. Proyek ini diprakirakan selesai pada tahun 2020.
Perluasan masjid dimulai pada bulan Agustus 2011. Kawasan masjid yang semula seluas 356.000 meter persegi akan dikembangkan menjadi 400.000 meter persegi. Sebuah gerbang yang diberi nama Gerbang Raja Abdullah dibangun bersama tambahan dua menara masjid.
Dikutip dari situs berita liputan6.com
Belum ada Komentar
Posting Komentar