Opini
Refleksi Pemilu Era Orde Baru Dan Eksistensi NU.
Oleh : KH. Asad Daid Ali
Pada tahun ke 3 sebagai anggota Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), saya mendapat perintah menjadi personil Satuan Tugas Khusus (Satgas Sus) untuk memenangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta dan Daerah Istimewa (DI) Aceh. Pada hal ketika itu saya menjadi personil di Deputy IV yang menangani Intelijen Luar Negeri.
Mungkin saya dipilih sebagai anggota satgassus karena latar belakang saya sebagai santri, sehingga dianggap memahami budaya pendukung PPP yang sebagian besar terdiri kaum agamis khususnys NU.
Konon ceritanya, Presiden Soeharto memerintahkan Ka BAKIN Jend ral Yoga Soegama agar PPP memperoleh suara mayoritas di Daerah Istimewa Aceh (awal masuknya Islam) dan DKI Jakarta. (ibu kota negara). Dengan menjadikan PPP menguasai mayoritas suara di Provinsi Aceh dan DKI Jakarta menunjukkan bahwa Pak Harto ingin memperlihatkan secara simbolis bahwa Islam tetap hadir secara mencolok dan hal ini merupakan kearifan dari Presiden kedua Indonesia tersebut.
Segera setelah MPRS mengangkat Pak Harto sebagai Presiden kedua pada tahun 1967, beliau mendirikan Golongan Karya sebagai kekuatan politik utama yang secara formal tidak disebut “partai politik“ melainkan lebih merefleksikan kelompok professional.
Sedang dua partai politik lainnya sebagai sparing patner adalah Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan fusi/penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Murba. Sedang partai lainnya adalah PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang merupakan fusi partai berhaluan Islam yaitu Partai NU, Parmusi, PSII dan PERTI.
Penggabungan partai menjadi dua partai tersebut dimaksudkan untuk membangun sistem politik baru Orde Baru yang terkenal dikalangan aktivis kampus dengan “Politik Stabil dan Dinamis“.
Golkar yang didukung ABRI sebagai unsur stabilator polhukam dan sekaligus penggerak ekonomi, sedang PDI dan PPP penyeimbang agar sistem politik menjadi dinamis. Tentu saja unsur dinamis sedapat mungkin sejalan dengan derap pembangunan ekonomi.
Dalam praktek ,Golkar sebagai partai pemerintah dan PDI serta PPP sebagai sparing patner harus menyesuaikan diri dengan dinamika sosial - politik. Misalnya Golkar pada periode awal sejak berdirinya dipimpin oleh perwira militer aktif, dalam periode selanjutnya dipimpim mantan perwira TNI dan pada periode selanjutnya dipimpin sipil.
Dari 1967 sampai 1993 dipimpin oleh militer dan sejak 1993 dipimpin oleh politisi sipil diawali Harmoko, Akbar Tanjung dan seteusnya. Ditingkat pimpinan golkar daerah juga demikian dari militer aktif, purnawirawan dan sejak 1993 mayoritas diserahkan sipil.
Dalam rangka menjalankan fungsi stabilator itulah Orde Baru melakukan kebijakan yang cenderung repressif dengan menggunakan “selubung politik tertentu“, sehingga pada akhirnya tidak tampak vulgar. Misalnya dengan konsep monoloyalitas, departemen-departemen pemerintahan dijauhkan dari unsur partai politik, dimana pegawai negeri hanya loyal kepada negara cq Golkar.
Dalam pemilu 1972 sampai pemilu 1977, langkah repressif Orde Baru itu sangat terasa, namun lambat laun jauh berkurang karena Golkar kemudian diterima masyarakat ketika kemajuan ekonomi telah dirasakan oleh masyarakat.
Dalam perkembangannya kemudian, ketika terjadi krisis moneter pada 1998; yang mengakibatkan kondisi perekonomian nasional memburuk, muncul ketidak puasan yang meluas. Rakyat demo agar Presiden Soeharto yang telah berhasil memimpin Indonesia sejak 1967 agar turun.
Ada tarik menarik/pro kontra dikalangan elite; pada satu sisi menghendaki Pak Harto tetap menjabat guna mengatasi krisis ekonomi, sedang kaum elit lainnya menghendaki agar pak Harto turun. Dan secara elegan Presiden Soeharto yang saya kagumi sebagau tokoh pembangunan itu turun tahta dengan jiwa besar, menyerahkannya kepada Wapres BJ Habibi, bukan kepada anak turunnya.
Sebagai seorang intelijen saya juga punya pengalaman khusus yang sering saya ceritakan kepada generasi muda NU yang kebetulan bersilaturahim; Suatu saat saya di tanya oleh atasan saya, Mayjen Soenarso Jayusman; NU itu termasuk moderat atau radikal, soalnya Pak Harto memanggil Ka BAKIN Jendral Yoga Soegama dan mengatakan dalam bahasa Jawa ; Kok saiki NU rodo genit/nakal , ono opo too?.
Pertanyaan itu dibahas dalam rapat terbatas pimpinan BIN dan sampai sekitar dua jam, tidak ada kesimpulan dengan apa yang dimaksud nakal oleh Pak Harto. Kesimpulan sementara, rapat tidak melihat gejolak dikalangan NU melawan Orde Baru. Hanya ada dua tokoh NU yang sering menyuarakan suara vokal tetapi masih dianggap wajar yaitu Pak Chalid Mawardi (ketika itu Ketua Umum PP GP Ansor) dan H Mahbub Djunaidi, wartawan dan kolumnis.
Rapat ditunda sekitar satu jam untuk sholat zhuhur, Pak Narso Jayusman memanggil saya dan menanyakan seperti apa pandangan politik NU. Saya jawab singkat NU selalu loyal kepads negara karena selain ikut berjuang mendirikan negara, juga tidak akan memberontak kepada pemerintah yang syah karena memberontak atau bughot hukumnya “ haram“.
Setelah rapat dibuka kembali dan hanya berlangsung 15 menit. Setelah mendengarkan penjelasan singkat dari pak Narso, Jendral Yoga memutuskan : begini saja, NU itu teman pemerintah, saya juga waktu muda mengaji kepada Kyai H Yasin, jadi saya ini ya NU juga.
Gampang, Chalid Mawardi jadikan Duta Besar di negara Arab dan Mahbub dibantu keperluannya, biarkan tetap mengritik nggak apa apa saya yakin tujuannya baik. Kita , ABRI lebih baik menggalang sebanyak mungkin kawan dari pada musuh.
Jadilah Pak Chalid Mawardi menjadi Duta Besar di Syria dan pak Mahbub Junaedi tetap meneruskan tulisan tulisan yang bernada kritik konstruktip.
Dikaitkan dengan situasi sekarang ini, mungkin politik dinasti itu muncul bukan dari fikiran Presiden Jokowi sendiri karena beliau tahu resiko politiknya, bukan hanya nasional , tetapi juga internasional.
Dan memang politik dinasti dalam era perkembangan demokrasi abad ini adalah menjadi sesuatu yang dapat menimbulkan perlawanan besar.
Previous article
Next article
Belum ada Komentar
Posting Komentar